empati

Jadilah manusia yang berempati tinggi, walau sulit, tetaplah berusaha...Karena itulah hal yag membuat kita tidak akan meremehkan orang lain...

Rabu, 16 September 2009

Inspirasi Hari Ini

Tak Ada Akhir Untuk Cinta


Aku menghela nafas panjang. Untuk yang kesekian kalinya aku terus memikirkan hal ini sampai otakku serasa ingin pecah. Aku benar-benar merasa lelah. Lelah untuk entah yang keberapa kalinya. Rabbana…apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar gundah saat ini.

Tak terasa adzan isya sudah berkumandang, aku beranjak dari loteng tempat aku melamun. Loteng berdebu, tempat favoritku yang sunyi. Aku turun ke lantai bawah melalui tangga putar yang terbuat dari besi.

Kuambil air wudhu, kuusap perlahan membasahi setiap lekuk wajahku. Airnya yang dingin dan sejuk membuat hatiku sedikit lebih tenang. Kukenakan mukena putih berhiaskan gambar bordiran bunga-bunga kecil berwarna kuning salem. Mukena ini adalah mukena pertamaku sejak aku menikah dengan seorang pria pilihanku, Andra namanya. Aku masih ingat ketika pertama kalinya aku bertemu Andra. Lelaki pujaanku ketika aku memasuki SMA yang sangat favorit di kotaku. Tak kusangka, setelah lulus kuliah, Andra datang melamarku. Kupandangi lagi mukena putihku ini. Kuingat wajahnya yang selalu tersenyum ketika aku pulang setelah aku lelah bekerja seharian. Kuingat wajahnya saat ia mencium keningku sebelum tidur. Butiran-butiran air mata mulai bergulir di kedua belah pipiku. Ah…andai kau ada disini suamiku.

Kuusap perlahan air mataku. Kumulai shalatku dengan niat yang khusyuk. Allahu Akbar. Dalam shalatku ini, air mataku tak berhenti mengalir. Kuingat Allah swt dalam setiap helaan nafas sesakku. Perutku yang semakin membesar menjadi cobaan bagiku agar aku lebih berhati-hati. Aku semakin sulit bergerak ketika shalat.

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Mukenaku telah basah. Kulantunkan doa-doa penuh harap pada Sang Pencipta. Memohon pertolongan dari-Nya. Ya Rabb, kembalikan ia di sisiku….

* * *

Sudah berjalan tiga bulan sejak suamiku pergi dari rumah milik kami. Rumah sederhana hasil kerja keras kami berdua, dua tahun setelah pernikahan kami. Rumah sederhana penuh kenangan tentang aku dan Andra, suamiku yang kucintai. Selama dua tahun kami menikah, kami memang belum dikaruniai anak. Karena itulah, hari-hari selalu kulalui hanya bersama suamiku.

Pekerjaanku sebagai wanita karir membuatku harus keluar rumah setiap pagi dan baru pulang ketika matahari terbenam. Sedangkan suamiku, ia hanya sebagai wartawan freelance di sebuah koran daerah. Jumlah gajiku yang lumayan besar dipakai untuk mencicil kredit rumah. Sedangkan gaji Andra yang seadanya, dipakai untuk kebutuhan hidup kami sehari-hari. Begitulah kesepakatan yang kami buat ketika kami telah menikah.

Aku masih ingat ketika Andra tiba-tiba menghilang dari rumah. Ia tak mengatakan apapun padaku sebelum dia pergi. Hanya satu alasan kuat yang membuat aku yakin Andra meninggalkanku secara mendadak. Aku dipecat dari kantor tempat aku bekerja karena terlibat konflik dengan seorang kepala bagian. Kepala bagian tersebut tidak menyukaiku karena aku selalu diberi bonus oleh direktur kami. Karena itulah, ia memfitnahku telah melakukan korupsi dalam suatu proyek yang tengah kujalani. Sejak malam itu, malam saat aku memberi tahu Andra bahwa aku dipecat, keesokan paginya Andra sudah tidak ada di rumah. Ia pergi tanpa meninggalkan apapun untukku. Sebuah pesan singkatpun tak ada.

Satu minggu sejak suamiku pergi, badanku sering merasa tidak enak. Aku sering mual-mual dan pusing. Aku menceritakan tentang keadaanku pada ibu lewat pesawat telepon. Ibu yang tinggal di Semarang langsung mendatangiku. Perjalanan jauh Semarang-Sukabumi, tak membuatnya merasa capek demi melihat keadaanku yang sedang carut marut ini. Ditinggal suami dengan keadaan fisik yang lemah.

Tiga hari sejak ibu menginap di rumahku, hatiku mulai merasa lebih nyaman setelah menceritakan segala keluh kesahku pada beliau. Akan tetapi, semakin lama ibu menaruh perasaan curiga pada keadaan fisikku yang juga tak juga membaik dalam beberapa hari.

“Jangan-jangan kamu hamil, Nduk,” ucap ibuku. Aku langsung kaget mendengar ucapan ibu. “Ibu antar kamu periksa ke dokter ya?”

“Ibu yakin aku hamil? Mungkin saja ini hanya karena stres,”

“Kita periksakan saja dulu. Orang stres tidak mungkin sesering ini merasakan rasa mual. Ibu sudah lebih berpengalaman, Nduk. Mau ya?” ibu mengelus-elus kepalaku. Aku hanya mengangguk.

Keesokan harinya, aku dan ibu pergi ke rumah sakit. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku terus melamun. Mengingat Andra, suamiku tercinta. Dimanakah engkau suamiku? Apakah engkau baik-baik saja saat ini? Andai saja kau yang menemaniku ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit, aku semakin merasa gugup. Debaran jantungku semakin kencang saat melihat pintu ruangan dokter kandungan yang akan kumasuki.

“Selamat ya, Nduk. Akhirnya kamu hamil juga,” ibu memelukku erat sambil tersenyum.

“Tapi bu…,” ucapanku tergantung. Bulir-bulir air mata mengalir lagi di pipiku.

“Sudahlah, Nduk. Masih ada ibu yang akan menjagamu. Toh adikmu, Chandra sampai saat ini masih mencari suamimu. Sampai ketemu,” Ibu mencoba menenangkanku.

Tak kusangka ternyata aku tengah mengandung. Pernyataan dokter beberapa menit yang lalu itu terus membuatku semakin tak karuan. Antara senang dan sedih. Senang karena aku ternyata tengah mengandung anak pertamaku dengan Andra. Tetapi aku juga merasa sedih karena saat-saat seperti ini Andra justru tidak ada di sampingku. Suamiku, dimana engkau? Ingin kuberitahukan berita gembira ini padamu…

* * *

Usia kandunganku sudah mendekati tujuh bulan. Akan tetapi, suamiku belum juga ditemukan. Padahal, setiap seminggu sekali, ketika adikku libur kerja, ia selalu menyempatkan diri mencari suamiku. Ia sudah berkeliling ke beberapa kerabat. Tidak ada yang tahu di mana suamiku berada. Kuusap perlahan perutku yang mulai membesar. Kuusap juga foto pernikahan kami. Aku benar-benar merindukan suamiku. Entah sudah yang keberapa kalinya aku membasahi foto pernikahanku dengan air mata.

“Jangan menangis terus, Nduk. Tidak baik untuk kandunganmu. Kau harus merasa senang agar anakmu tumbuh dengan baik. Jangan kau ingat-ingat terus kesedihanmu itu. Sabar ya, Nduk. Ibu yakin, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menjaga suamimu dengan baik. Di manapun ia berada. Yakinlah bahwa kau pasti akan bertemu dengannya. Membesarkan anak kalian berdua nantinya,” Ibu merangkul bahuku. Aku tak bisa bicara lagi. Benar juga apa yang dikatakan ibuku. Anakku harus tumbuh dengan baik. Ia harus menjadi anak yang tumbuh normal dengan kecerdasan yang tinggi. Ini memang sulit. Suasana hatiku selalu berubah setiap waktu. Padahal, sejak aku tahu bahwa aku mengandung, aku terus menyibukkan diri dengan pekerjaan baruku sebagai seorang kasir di sebuah butik yang tak jauh dari rumahku. Lumayan, untuk memenuhi kebutuhan hidupku sehari-hari. Selain itu, aku juga mengikuti kelas untuk ibu hamil yang rutin diadakan setiap seminggu sekali oleh sebuah lembaga milik sahabat dekatku. Sejak kesibukanku itu, aku selalu berusaha melupakan masalahku. Setiap malam, aku selalu melaksanakan tahajud. Disaat itulah aku kembali mengingat suamiku lagi. Memohon pada Allah agar segera mempertemukanku dengannya. Aku benar-benar rindu padanya.

* * *

“Sudah pembukaan tiga,”

“Ya bagus, terus,”

“Ambil nafas lagi,”

Ucapan seorang dokter kandungan itu terus menyemangatiku. Aku mengejan sekuat-kuatnya. Ya Rabb, kuatkanlah aku. Allahu Akbar.

Ibuku juga ikut menyemangati. Beliau berdiri di sampingku sambil menggenggam tangan kananku. Matanya terus menatapku dengan tatapan kasih sayangnya.

Aku mengingat suamiku lagi. Di mana engkau disaat aku seperti ini, suamiku?

“Pembukaan enam,” suara dokter kandungan semakin keras terdengar di telingaku.

“Terus, Nduk. Ambil nafas lagi,” ucap ibuku. Aku sudah benar-benar hampir kehabisan tenaga. Ya Rabb, percepatlah persalinan ini. Aku sudah tak punya tenaga lagi.

“Ya, sedikit lagi,” ucap dokter itu lagi. Kukeluarkan semua tenagaku yang hampir habis. Aku akan terus berjuang melawan rasa sakit ini. Rasa sakit yang amat sangat. Ini demi anakku.

Tak lama kemudian, kudengar suara tangis bayi.

“Alhamdulillaah,” ucap dokter kandungan dan ibuku bersamaan. Aku bernafas lega.

Aku benar-benar merasa lemas saat ini. Kulihat ibu tak henti menangis sambil terus mengucap syukur pada ilahi Beliau menatap bayiku yang tengah dibawa oleh dokter kandungan untuk segera dimandikan.

Bapak dan adikku sedari tadi menunggu di luar dengan cemas. Setelah dokter memberitahu bahwa aku sudah selesai, mereka lalu masuk ke kamar persalinan.

“Selamat ya, Nduk. Anakmu perempuan. Cantik seperti wajahmu,” ucap ayahku sambil tersenyum dan mencium keningku.

Seorang suster lalu menghampiri kami sambil membawa bayiku. Ibu lalu menggendongnya.

“Selamat ya, Mbak,” ucap adikku.

Mas Andra di mana? Aku ingin mengatakan hal yang penting padanya,” ucapku lirih.

“Sudah, Nduk. Kamu jangan memikirkan suamimu dulu,” ucap Ibu.

Tapi ini sudah waktunya,” ucapku semakin lirih. Aku mengatur nafasku yang semakin sesak dengan susah payah.

“Apa maksudmu, Nduk? Ibu tidak mengerti,” Ibu menangis lagi.

“Ini sudah waktunya. Allah ingin aku menemui-Nya,” air mataku mengalir. Aku menatap mereka satu persatu dengan penuh kasih sayang. Kuatur lagi nafasku yang semakin sesak. Allah, beri aku waktu sedikit lagi. Beberapa detik saja Ya Rabb…

“Kamu tidak boleh bicara seperti itu, Nduk. Anakmu butuh dirimu untuk membesarkannya. Bapak panggilkan dokter ya, Nduk,” Bapak menggenggam kuat tanganku.

“Tidak perlu. Bu, boleh aku melihat anakku sekarang?” pintaku.

Ibu meletakkan bayiku di sampingku. Aku menatapnya.

“Subhanallah. Kamu benar-benar cantik anakku,” ucapku sambil mencium pipinya. Kutatap wajahnya satu persatu. Hidungnya mancung seperti Andra yang memiliki keturunan Arab dari kakeknya. Kulitnya putih, seputih Andra yang asli suku Sunda. Alis tebalnya, alis itu mirip seperti alisku. Aku yakin, ketika ia dewasa nanti ia akan secantik Aisyah, sedermawan Khadijah, dan menjadi wanita shalihah seperti Fatimah. Rabbana, andai Engkau beri aku kesempatan untuk merawatnya.

“Aku titip anakku, Bu. Kalau suatu saat Mas Andra ditemukan, bapak, ibu, dan Chandra jangan marahi dia. Biarkan dia melihat anaknya. Jangan jauhi dia dengan anak kami. Katakan juga padanya, aku masih mencintainya,” suaraku semakin menipis. Nafasku benar-benar hampir habis. Bapak, ibu, dan Chandra hanya mengangguk sambil terus menatapku dan menitikkan air mata.

“Aku juga sangat mencintai bapak, ibu, dan kau adikku,”

“Asyhadu Allaailaaha illallaah,” ucap Bapak membimbingku sambil diiringi tangisnya, tangis ibu, dan tangis adik lelakiku.

“Asyhadu Allaailaaha illallaah,” kuikuti ucapan Bapak sambil berjuang mempertahankan nafas terakhirku.

“Wa Asyhadu annaa Muhammadarrasuulullaah,”

* * *

Namaku Chandra. Aku adalah adik lelaki satu-satunya Lastri, kakak perempuanku yang sudah meninggal setahun yang lalu. Sejak kepergian kakakku, aku terus berusaha untuk mencari suaminya, Mas Andra yang tiba-tiba menghilang. Saat ini aku sedang berada di depan stasiun Gambir. Menanti bis kota untuk menuju tempat tujuanku. Kemarin, aku baru saja mendapatkan infomasi dari salah seorang teman dekat Mas Andra yang dulu bekerja satu kantor dengannya. Namanya Mas Bowo. Mas Bowo pernah bertemu dan sempat berbincang dengan Mas Andra di suatu tempat di Jakarta ketika ia sedang meliput berita tentang demonstrasi. Mas Bowo juga sempat mengunjungi rumah baru Mas Andra. Memang, sejak kepergian Mas Andra, semua orang benar-benar kehilangan jejaknya. Mas Andra sudah tidak mempunyai keluarga dekat. Ia juga tidak memberikan kabar pada kantor redaksi tempat ia bekerja sebagai wartawan freelance. Alhamdulillah, akhirnya kini aku sedikit memiliki titik terang. Aku akan menemui Mas Andra secepatnya.

Beberapa meter dari tempat aku menunggu, sebuah bis kota tujuanku semakin mendekat. Aku menggendong tas ranselku. Ketika bis kota berhenti, aku langsung naik. Bismillahirrahmaanirrahiim. Aku mencari-cari tempat duduk yang kosong, tapi ternyata tak ada bangku yang kosong satupun. Disaat siang yang terik ini, bis benar-benar penuh. Terpaksa aku harus berdiri sambil tanganku memegang bagian pinggir kursi di sebelahku. Aku harus sabar, alamat yang kudapat dari Mas Bowo tidak terlalu jauh dari stasiun Gambir. Hanya sekitar dua puluh menit waktu perjalanan, begitu kata Mas Bowo.

Akhirnya aku sampai di tempat tujuanku. Kini aku berdiri di depan sebuah rumah besar dan mewah. Inilah alamat yang diberikan oleh Mas Bowo. Semoga aku bisa langsung menemui Mas Andra di rumah ini.

Bismillahirrahmaanirrahiim.Kutekan bel yang ada di depan pintu pagar. Aku menunggu sambil mengusap peluh di dahiku. Belum juga ada jawaban, kutekan lagi bel. Beberapa detik kemudian, seorang wanita membuka pintu rumah.

“Siapa ya?” ucapnya sambil berjalan keluar dan menghampiri pagar. Wanita itu memakai make up tebal. Emas putih berbentuk kalung, cincin, dan gelang menghiasi tubuhnya yang memakai baju serba ketat. Dia berbeda sekali dengan Mbak Lastri yang selalu berpenampilan sederhana. Dengan jilbab panjang dan gamis yang membuatnya selalu terlihat anggun.

“Mas? Anda siapa ya?” tanya wanita itu membuyarkan lamunanku.

Eh, begini, apa benar ini alamat rumah Mas Andra?” tanyaku.

“Ya, benar. Anda siapa ya?” tanya wanita itu lagi sambil membuka pintu pagar.

“Saya temannya dari Semarang. Apakah Mas Andra ada di rumah?” tanyaku hati-hati agar wanita ini tidak terlalu curiga. Mungkin saja wanita ini akan mengusirku kalau ia tahu bahwa aku adik ipar Mas Andra.

“Suami saya belum pulang dari kantor. Ada pesan?” ucapnya. Aku benar-benar kaget. Suami? Berarti Mas Andra sudah menikah lagi dengan wanita ini. Sejak kapan? Mbak Lastri, andai kau mengetahui hal ini, apakah kau masih tetap mencintainya? Mencintai lelaki yang sudah meninggalkanmu dan menikahi wanita lain.

“Tapi saya harus menyampaikan sesuatu yang penting pada Mas Andra. Boleh saya meminta alamat Mas Andra sekarang?” tanyaku pada wanita itu.

“Apa tidak bisa dititipkan saja pesannya?” wanita itu semakin ketus.

“TIdak bisa. Mas Andra harus tahu langsung dari saya. Ini sangat penting,” ucapku sedikit memaksa.

“Oh, begitu. Ya sudah, tunggu di sini sebentar,” wanita itu lalu masuk. Tak lama kemudian, wanita itu ke luar sambil membawa secarik kertas.

“Ini alamatnya,” wanita itu memberikan kertas yang ia pegang. Kertas itu bertuliskan alamat kantor tempat Mas Andra bekerja.

“Terima kasih. Wassalamu’alaikum,” ucapku pamit. Wanita itu hanya mengangguk. Ia lalu masuk lagi ke dalam. Tingkahnya sangat sombong. Bahkan salamku saja tidak dijawabnya. Kubaca lagi alamat yang kupegang. Lumayan jauh dari sini. Tetapi aku harus menemui Mas Andra sekarang juga.

Satu jam perjalanan yang kutempuh untuk sampai di kantor tempat Mas Andra bekerja. Kantor yang megah dan besar. Aku semakin paham mengapa Mas Andra meninggalkan Mbak Lastri dan memilih wanita sombong itu.

“Maaf, Mbak. Apakah benar kalau Andra bekerja di kantor ini?” tanyaku pada seorang resepsionis.

“Andra Haryadinata?”

“Ya benar. Apa dia ada?” tanyaku lagi.

“Apakah Anda sudah punya janji?” Tanya resepsionis itu lagi.

“Belum. Tapi saya sudah mendapatkan izin dari istrinya,”

“Baiklah, tunggu sebentar,” Resepsionis itu lalu menekan salah satu tombol pesawat telepon di sampingnya.

“Silahkan masuk. Pak Andra menunggu di dalam. Ruangannya di lantai tiga,” ucap resepsionis itu setelah mematikan telepon.

Andra Haryadinata. Nama itu terpampang jelas di depan sebuah pintu kayu yang ada di lantai tiga. Ya, ini benar tempat Mas Andra bekerja. Bismillaah, kuketuk pintu perlahan.

“Ya, silahkan masuk,”

“Mas Andra,” ucapku setelah kulihat Mas Andra yang sedang duduk. Mas Andra terperangah melihatku. Ingin rasanya aku memarahinya karena perlakuannya pada Mbak Lastri. Tapi kemarahanku pada Mas Andra tidak bisa kulampiaskan. Pesan Mbak Lastri selalu terngiang di telingaku.

“Chandra?! Dari mana kamu tahu kalau aku di sini?” ucapnya kaget.

“Mas bowo yang memberi tahu. Mas Andra harus tahu tentang Mbak Lastri,” ucapku sambil terus mengontol emosi.

“Oh, Lastri? Aku sudah lama melupakannya,” ucapnya enteng. Kulihat raut wajahnya, aku yakin betul kalau ia merasa takut. Takut untuk mengingat Mbak Lastri.

“Mbak Lastri tidak pernah membenci Mas Andra. Tapi apa balasan dari Mas Andra? Mas tahu? Ia selalu mencintai Mas. Sampai kapanpun. Sampai ia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya,” Aku tak dapat menahan air mataku.

“Apa? Lastri meninggal? Kamu jangan bohong Chandra!” Mas Andra mengguncang-guncang bahuku.

“Untuk apa aku bohong, Mas? Untuk apa?! Mas Andra harus tahu, Mbak Lastri meninggal setelah melahirkan bayinya. Melahirkan anakmu,” ucapku semakin lirih.

* * *

Aku dan Mas Andra kini duduk di kereta ekspress menuju Semarang. Kami tidak lagi saling bicara. Mas Andra hanya melamun sepanjang jalan. Entah apa yang dia pikirkan. Mbak Lastri, andai kau masih hidup saat ini, ucapku dalam hati sambil menatap Mas Andra yang sama sekali tidak menghiraukanku. Tak kusangka, ia bisa sangat keterlaluan pada Mbak Lastri, kakak tersayangku yang cantik dan anggun. Tapi ucapan Mbak Lastri selalu teringat di kepalaku. Aku harus menjalankan amanah terakhir darinya.

Akhirnya kami sampai di Semarang. Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah. Menuntun Mas Andra untuk menemui putrinya.

“Siapa nama anakku?” Tanya Mas Andra dalam perjalanan kami menuju rumah.

“Nabila. Nama itu Mbak Lastri yang memberikannya. Ketika usia kandungannya menginjak tujuh bulan Mbak Lastri melakukan USG. Setelah itu Mbak Lastri mengatakan kalau ia akan memberi nama anaknya dengan nama Nabila,” ucapku sambil membayangkan wajah Nabila. Keponakanku yang baru berumur satu tahun.

“Aku sangat menyesal,” ucap Mas Andra liriih.

“Sudahlah Mas. Tidak ada yang perlu disesali lagi. Mungkin ini memang sudah ketentuan Allah untuk Mas Andra dan Mbak Lastri,”

“Tapi, mengapa kalian semua tidak ada yang marah padaku? Bukankah aku sudah menyia-nyiakan Mbakmu selama ini. Bahkan aku tidak ada saat Lastri melahirkan,”

“Semua karena Mbak Lastri. Ia berpesan pada bapak, ibu, dan aku sebelum ia meninggal. Ia menyuruhku untuk tetap mencari Mas Andra sampai ketemu. Bila aku, bapak, dan ibu sudah bertemu Mas Andra, kami tidak boleh marah pada Mas Andra dan harus menunjukkan Nabila pada Mas Andra. Begitulah Mbak Lastri. Mbak Lastri yang tidak pernah berhenti mencintai Mas Andra,”

Tak lama kemudian, kami sampai di rumah. Mas Andra berjalan perlahan. Aku tahu, ia takut untuk menghadapi watak keras bapak. Walaupun tadi sudah kuceritakan tentang pesan dari Mbak Lastri.

“Tenang saja, Mas. Bapak tidak akan marah,” ucapku berusaha menenangkannya.

“Assalamu’alaikum,” ucapku ketika kami berdua sampai di pintu rumah.

“Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab bapak dari dalam rumah. Bapak lalu membukakan pintu untuk kami. Kulihat wajah Mas Andra semakin tegang.

Ketika pintu terbuka, Mas Andra langsung sujud di kaki bapak. Ia menangis sambil terus meminta maaf pada bapak.

“Sudahlah. Bapak sudah memaafkanmu. Berdirilah,” perintah Bapak pada Mas Andra. Mas Andra lalu berdiri sambil mengusap air matanya.

“Kamu ingin melihat anakmu?” tanya bapak. Mas Andra hanya mengangguk.

Bu, bawa Nabila ke sini,” panggil bapak. Ibu keluar dari kamar sambil menggendong Nabila yang baru saja bangun tidur.

“Ini anakmu, Nabila namanya,” suara lembut ibu terucap perlahan sambil memberikan Nabila agar dipangku oleh Mas Andra. Mas Andra menangis sambil menggendong Nabila. Menatapnya dengan penuh kasih sayang dan cinta. Seperti cinta Mbak Lastri pada Andra dan Nabila.

_Selesai_

Ramadhan

Bulan puasa kali ini pusing banget....
Perasaan sih gitu...(perasaan dan kenyataan yang serupa...). Gimana ga pusing?? Tiba-tiba kok urusan dunia lebih mendominasi daripada urusan akhirat. . .(semoga urusan dunia ini berpahala untuk keperluan akhirat. amiiinnn....)
target-target bulan puasa kayanya susah banget mencukupi....
ngerasa bingung udah pasti. Lha mau gimana lagi, bulan puasa udah mau berakhir, tapi kerjaan di bulan puasa makin ga jelas akhirnya bakalan kayak apa...

BUBER atau BUBAR
bulan puasa kali ini bejibun sama urusan yang satu ini. dari mulai bubar SD, SMP, SMA, satu jurusan (semua angkatan), se-ROHIS jurusan (semua angkatan), temen sekelas di jurusan, perkumpulan alumni SMP dan SMA, temen deket waktu SMA, temen sekostan, temen seorganisasi, dan lainnya...
sampe mabok nyari tanggal dan tempat yang tepat. belum lagi urusan dana. karena yang namanya BUBER pasti menghabiskan dana makan yang tidak biasanya plus ongkos....
walhasil, banyak yang ga ikut dibandingin yang ikutnya. ya iyalah, cape bo kalo terlalu banyak mah....
sampai akhir bulan puasa ini, masih ada 2 buber yang harus dijalani, sementara uang bulanan aku ga berani minta lagi. pengen ngirit mumpung ada makan gratis di rumah...hhehehe

TUGAS
Kehidupan kuliah yang pastinya ga bakal jauh dari yang namanya tugas. yup yup yup...waktu udah semakin ingin diisi dengan refreshing ketika pikiran dan ingatan mengingat berapa jumlah tugas yang harus diselesaikan sebelum hari raya tiba. Nggak mungkin aku ngerjain tugas di rumah nenek kan?? Sementara yang lainnya pada jalan-jalan sambil bersilaturahmi...
Worklist untuk saat ini adalah.... membuat modul mentoring, membuat slide presentasi, dan membuat makalah....oalaaahh....malasnya aku....
SEMANGAT!! SEMANGAT!!!

FISIK
Sementara kegiatan bejibun dan tugas menumpuk, kondisi fisik ga mendukung. indikator kesehatan mulai protes dan menunjukkan tanda-tandanya. Mulai sering pusing dan lemes. Puasa jadi banyakan utangnya deh...sampai tulisan ini diterbitkan, udah 10 hari aku ga puasa karena kondisi ga memungkinkan...

IBADAH PUASA
Duh, ga tau lagi bagaimana ibadah puasa tahun ini. Wallahualam....

MUDIK
Yey!!! Mudik kali ini memang rencananya akan sama seperti tahun lalu. Tapi yang namanya mudik, aku selalu senang dan selalu menikmatinya. Perjalanan jauh selama 1 jam dan 3 jam bersama keluarga merupakan hal yang ga bisa dibandingkan dengan lainnya...
"Pengen cepet-cepet selesai tugas, selesai buber, tapi ga pengen cepet-cepet lebaran..."
Masa-masa terindah adalah saat-saat menanti lebaran tiba. Takbiran, melihat langit malam di teras rumah nenek sambil mendengarkan suara takbir dari berbagai penjuru masjid yang ada....SUBHANALLAH...
Tapi pas lebaran udah dateng, habis shalat id, kok cepet banget ya beresnya????
udah lewat deh...