empati

Jadilah manusia yang berempati tinggi, walau sulit, tetaplah berusaha...Karena itulah hal yag membuat kita tidak akan meremehkan orang lain...

Senin, 15 Februari 2010

Helping Others

Sabtu, 13 Februari 2010

Bangun pagi yang siang. Subuh selesai, langsung tertidur kembali. Rasa kantuk tak lagi tertahan karena semalaman sampai jam setengah empat subuh, aku dibuai obrolan panjang bersama teman sejurusan yang kebetulan malam ini menginap di kamar kosanku yang hanya seluas 2.5 x 2.5 meter. Obrolan yang amat panjang, beralur kemana-mana, membicarakan banyak hal, yang susah berujung hingga akhirnya kami terpaksa sudahi karena subuh akan segera menjelang. Kami tak mau kehilangan waktu tidur, walau hanya beberapa jam saja, walau tidak bisa memenuhi waktu tidur standar kami.

Bangun pagi yang siang. Jam yang tertera di layar handphone menunjukkan pukul 09.39. Aku langsung terlonjak saat teringat sesuatu yang lumayan gawat. Urusan pembuatan modul yang harus kuselesaikan hari ini sebelum jam 10.00 datang. Sedangkan ada suatu 'kesalahan' yang terjadi karena kecerobohanku. Kepalaku berdenyut, aku masih belum sepenuhnya siap bangun. Masih mengantuk. Kepala terasa berat sekali. Belum lagi, aku harus segera siap-siap pergi sedangkan diri ini belum siap sepenuhnya. Masih membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk benar-benar siap berangkat.

Persiapan ekstra cepat. Jam 10.10 diri ini sudah meluncur keluar kamar, bersama teman yang semalam menginap. Kami berdua berjalan menyusuri jalan lurus yang terus menurun. Sekitar sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di tempat tujuan pertama, tempat fotocopy. Sesampainya di sana, aku dan temanku menunggu pelanggan lain selesai. Tak lama kemudian, tibalah saatnya aku melangkahkan kaki mendekat etalase. Percakapan pun dimulai...

"Udah selesai semua A?" tanyaku harap-harap cemas. Jujur saja, dalam hati ini sudah berkecamuk berbagai kemungkinan kecil diperlakukan buruk sampai kemungkinan besar akan dimarahi, minimal diberi wajah ketus oleh semua orang di depanku. Mereka semua berjumlah enam orang dalam satu ruangan yang luasnya hampir sama dengan luas kamar kosanku.
"Iya, ini udah semua. Coba dilihat dulu aja," tawarnya sambil menyimpan sekotak kardus di atas etalase, di hadapanku. Aku langsung membuka tutup kotak kardus tersebut. Jantung ini semakin berdegup kencang, banyak pikiran yang semakin berkecamuk dalam keriuhan. Aku cemas.
Kuambil salah satu buku dari tumpukan buku di dalam kotak. 'beraktinglah sesaat', pikirku saat itu. Kubuka bolak-balik dan perlahan-lahan lembaran buku tersebut. Memastikan bahwa ada beberapa halaman yang memang telah membuat pikiranku terganggu semalaman. Ya, ada sedikit kesalahan pada beberapa halaman di dalamnya. Aku tersenyum gugup. Entah wajahku seperti apa saat itu, yang pasti, aku cemas dan malu setengah mati. Rabbii...Astaghfirullahal'adziim...Lunakkanlah hati mereka.
"A, punten. Ini ada beberapa halaman yang salah," Ucapku hati-hati. Pikiran ini langsung sibuk mencari dan mengatur kata-kata yang pas untuk dilontarkan. Jangan sampai keenam orang ini mengamuk gara-gara kealpaanku.
"Salah gimana maksudnya, teh?" lelaki berbaju merah yang sejak tadi di hadapanku mulai kebingungan sambil melihatku membolak-balik beberapa halaman yang sama.
"Ini, yang halaman ini ada beberapa teks yang ga bisa diprint," ucapku masih perlahan-lahan dan semakin melemas. Rabbiii....jeritku dalam hati. Aku semakin cemas.
"Owh, jadi, teteh mau sekalian ngeprint disini?" tanyanya masih kebingungan. Aku tau ucapanku belum terlalu jelas, tapi lidah ini semakin kelu.
"Bukan gitu maksudnya. Ini, ada 3 halaman yang ga bisa diprint huruf arabnya. Kemarin saya lupa, seharusnya ditulis tangan dulu huruf arabnya. Jadi, boleh ga A kalo diganti?" akhirnya kuutarakan juga kesalahanku tersebut.
Kupadangi keenam orang di hadapanku. Mereka memandangku dan sekotak kardus sambil terdiam. Sepertinya mereka sedang berdialog dengan hati dan pikiran mereka masing-masing.
"Tapi bakalan lama teh," ucap salah satu dari mereka sambil tetap sibuk menyampul buku.
"Lama ya?" ucapku lirih.
"Iya, pasti lama. Emang mau dipake kapan teh?"
"Ya, ga papa sih. Dipakenya nanti habis dzuhur,"

Krik krik krik...percakapan terhenti. Jeda.

"Kenapa teh?" tiba-tiba seorang bapak (yang terlihat lebih tua dibandung Aa-Aa yang lainnya) angkat bicara. Aku lalu menceritakan ulang semuanya. Menjelaskan dengan hati-hati pada bapak tersebut.
"Oh, iya. Gak apa-apa," Bapak itu tersenyum, lalu langsung mengambil tindakan dengan mulai membuka kotak kardus dan mencabuti staples satu persatu. Aku pun tak lagi bicara. Begitupun dengan keenam orang yang ada di hadapanku. Kumulai membuka isi tas ranselku, mengambil bolpoin dan mulai menulis tulisan arab di lembar buku.
Mereka semua langsung bekerja sama membuka staples buku satu demi satu. Salah seorang di antara mereka memperhatikanku menulis. Begitupun dengan teman sejurusanku, yang setia menanti sambil ikut memperhatikanku menulis. Sambil menulis, aku mengingat-ingat wajah Bapak yang tadi. Ya, aku ingat, beliau adalah pemmilik fotocopy yang letaknya lumayan jauh dari sini. Pantas saja harganya tidak berbeda jauh, ternyata pemiliknya sama. Pengalamanku memfotocopy buku modul dengan Bapak tersebut adalah untuk yang kedua kalinya. 'Hai, Pak. Apakah bapak mengingat Saya?' mungkin kalau aku berani, aku pasti sudah mengatakan hal itu pada Bapak tersebut. Kuingat lagi saat pertama bertemu dengan Bapak tersebut. Begitu ramah, begitu interaktif, yang pasti begitu baiknya perlakuan beliau padaku.
Tulisan selesai, buku itu langsung mulai di fotocopy.
"Berapa halaman?" tanya seorang yang berbaju merah.
"Tiga halaman," jawabku singkat. Mereka pun mulai bekerja sama lagi.
Aku merasa kikuk saat itu. Rasanya ingin masuk ke dalam ruangan itu dan ikut melepaskan satu persatu staples yang menempel di buku-buku tersebut. 'Ini salahku', ucapku dalam hati.
Saat itu, aku langsung teringat pada teman sejurusanku yang memiliki janji untuk bertemu dengan temannya di depan masjid yang tidak jauh dari sini.
"Jadi ketemu jam berapa sama dia?" tanyaku.
"Sapuluh menit deui. Hayu atuh, nungguan di ditu," ajaknya padaku.
Hmm...kupikir, daripada aku harus berdiam diri sendiri di sini sambil tak henti-hentinya merutuk diri sendiri, ditambah lagi dengan kecemasan setiap melihat mereka sibuk bekerja. (lebay mode on!)

Tak butuh waktu lama berpikir, aku mengangguk setuju.
"A, ditinggal dulu ya," kataku akhirnya sambil berjalan meninggalkan tempat fotocopy tersebut.
Aku dan temanku melenggang meninggalkan tempat tersebut dan menuju masjid.

Speechless sebenarnya. Tapi aku berusaha untuk terus berkata-kata. Ingin menumpahkan rasa yang tak menentu ini. Aku masih menyimpan cemas yang begitu besar.

Sesampainya di depan masjid. Aku dan temanku menunggu sambil duduk di pinggir selasar depan masjid. Terdiam membisu bersama sambil iseng memperhatikan yang lalu lalang. Jalanan ini memang hampir tak pernah sepi. Para santri, ustadz, pedagang, mahasiswa, pengunjung supermarket, jamaah masjid, penduduk asli, juga kendaraan bermotor yang selalu melewati jalan yang lumayan strategis ini.
Temanku menunggu temannya yang tak juga kunjung datang. Aku, menunggu hasil perbaikan fotocopy-an yang tak kutahu pasti kapan selesainya. Lama pastinya. Tiba-tiba muncul ide untuk mencari tempat menunggu selain di masjid ini. Aku malu kalau hanya bisa berdiam sendiri di masjid ini.
Langsun kurogoh tasku, mencari keberadaan handphone. Yup, handphone sudah di genggaman, kutekan beberapa tombol, mencari nama, nomor, dan mulai kuketik pesan singkat untuk temanku yang letak kosannya tidak jauh dari sini.

"Ka, lagi di mana? Aku mau ke kosanmu boleh ga?"

Menit demi menit berlalu. SMS-ku tak juga dibalas. Akhirnya kucoba kukirim untuk yang kedua kalinya. menit demi menit berlalu, tak juga ada pesan balasan.

Aku dan temanku masih termangu menunggu di depan selasar masjid. Aku cemas menanti pesan balasan, begitupun dnegan temanku, ia mulai sedikit kesal menunggu temannya yang tak juga kunjung datang.

Beberapa menit kemudian, sekitar lima meter dari tempat aku dan temanku menunggu, kami melihat teman yang tadi kukirimkan pesan singkat. Kami melihatnya sedang mengendarai sepeda motor matic dan membonceng seorang teman.

Dari hal tersebut, kontan aku dan teman di sebelahku langsung teringat sesuatu. Yup! Teman yang baru saja ku SMS, pada jam segini memang sedang mengikuti kegiatan.

"Oh, tidak...aku harus menunggu di mana sampai hasil fotocopy-an itu selesai?"
hati makin merasa tak menentu. Heemmm..serasa ada ganjalan hati.

Yup, dalam sekejap, kupikir, aku mungkin akan untuk berdiam diri saja di selasar masjid sambil mengisi waktu dengan membaca novel yang kupinjam.

Tak lama kemudian, temannya temanku datang dan mereka langsung pergi meninggalkanku. Akhirnya aku harus berdiam sendirian di selasar masjid ini. Waktu terasa begitu lambat bergulir.

Aku lalu beranjak dari tempatku duduk dan menuju tangga masjid. Kumulai membuka tas dan mengambil novel. Hmm...aku harus menghabiskan waktuku dengan menyelesaikan novel ini.

Lembar demi lembar kubaca, sambil diselingi dengan ber-SMS ria bersama teman-teman. Sampai akhirnya berpuluh-puluh halaman itu habis kulahap hingga halaman 'Tamat'.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.15(kurang lebih). Hap, aku berdiri dari tempatku duduk dan mulai berjalan menuju tempat sepatu. Duduk lagi, pakai sepatu...jalanan sudah basah karena tadi sempat hujan sesaat, namun kini cuaca sudah panas kembali. Selesai memakai sepatu, kumulai lagi langkahku menuju tempat fotocopy. Perlahan-lahan, semakin tegang. Entah bagaimana wajah-wajah para hamba Allah yang sudah kukecewakan tadi.

Sampailah aku di sana.

"Udah selesai, A" tanyaku ragu-ragu.
"Ya, sedikit lagi. Tinggal dipotong aja," ucap salah seorang dari mereka.

Aku lalu duduk di samping depan etalase. Menunggu (lagi).

Satu orang yang tingginya sama sepertiku, berambut keriting, membantu membereskan buku-buku itu dan dimasukkan ke dalam kardus. Satu orang, berbaju hitam dan bertopi, sibuk sendiri mengerjakan sampul buku. Satu orang berbeju merah masih sibuk memotong-motong buku agar rapi. Aku masih menunggu sambil kembali ber-SMS ria. Langit tampak agak mendung.

"Rabbi, semoga tidak hujan dulu, agar aku lebih mudah dalam membawa kotak ini," do'aku dalam hati.

Jam sedah menunjukkan pukul 11. 48. Adzan dzuhur pun berkumandang. Langit semakin mendung, dan rintik hujan perlahan turun. Fotocopy-an sudah selesai. Mereka mulai mengepak kotak tersebut, lalu mulai menghitung biaya.

Selesai pembayaran....

"A, boleh minta tolong diiket? Biar lebih gampang dibawa," tanyaku. Wah, aku merepotkan mereka lagi.

"Boleh. Emangnya mau dibawa kemana, teh?" tanya salah satu, yang terlihat tertua di antara mereka berempat.

"Mau dibawa ke P*******," Jawabku sambil mengeluarkan payung dari dalam tas.

"Oh, jauh ga?" tanyanya lagi.

"Ga, ga jauh kok. Ga apa-apa. Biar ditenteng aja," jawabku lagi sambil sedikit membayangkan diriku menenteng kotak kardus itu di tangan kiri dan payung di tangan kanan.

"Ya udah atuh, dianterin aja," kata salah seorang dari mereka (Aku lupa siapa yang bicara saat itu).

"Oh, ga usah, A. Sendiri aja, bisa da bawanya," Tolakku. Aku tak mau diantar, malu.

"Ah, ga apa-apa, Teh. Dianter aja,"

Seorang yang berbaju hitam dan bertopi itu langsung mengambil kunci motor dan mengganti topinya dengan helm hitam.

"Ah, ga usah, A. Ga apa-apa. Bisa sendiri kok, ini udah ada payung," aku semakin cemas. Tak mau merepotkan mereka lagi.

"Ga apa-apa kok, Teh. Biar dianter aja,"

Aku hanya bisa tersenyum (dan di dalamnya tetap berbalut kecemasan).

Sang pemakai helm hitampun langsung beranjak sambil menggotong kardus menuju motornya yang diparkir di depan. Payung yang tadi kubuka langsung kututup lagi. Sang pemakai helm hitam pun langsung memutarkan motornya, menaikinya, dan mempersilahkan aku untuk duduk di belakang.

Motor pun melaju bersama rintikan hujan. Meter demi meter dilalui. Jalanan lurus dan belokan terlewati.

Selama perjalanan, hati ini makin tak menentu. Ah, aku benar-benar malu. Sudah banyak kurepotkan orang yang satu ini, begitupun mereka tadi. Tapi sampai saat terakhir begini, aku masih juga merepotkan mereka. Tukang ojeg saja sering menolak kalau hujan begini, tapi 'dia' dan 'mereka'? Rabbi, betapa mulianya hati mereka...

Akhirnya sampai juga di ujung jalan. Motor berhenti melaju. Kaki-kaki pun turun dari ambang, Hup!

"Sampai sini aja, Teh?"
"Iya, sampai sini aja. Nuhun, A. Udah anter sampai sini,"
"Emangnya ini mau dibawa ke mana? Jauh ga?"
"Ke ***a*****,"
"Oh, ya udah atuh, dianter aja,"
"Ga usah, A. Ga apa-apa. Sampai sini aja udah cukup jauh. Nanti bisa kok, naik angkot aja sampai sana,"
"Oh, ya. Ya udah. Yuk, teh,"
"Ya, makasih banyak ya, A,"
"Iya, sama-sama. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikum salam,"

Motor itupun melaju lagi, melawan arah yang tadi, tanpa aku hanya 'dia'.
Tak perlu lama-lama menatap Sang penolong, aku pun langsung menenteng kardus dan melenggang ke jalan raya. Berdiri di pinggir jalan, memperhatikan lalu lalang kendaraan bermotor, menanti saat kosongnya jalan untuk kusebrangi bersama rintikan hujan menuju tempat angkutan kota mengetem menunggu penumpang...

Alhamdulillah Ya Rabb....Hari ini aku ditolong oleh Hamba-hamba-Mu yang mulia...
Balas perbuatan mereka oleh-Mu, karena aku tak sanggup....

-Aku yang tak mampu lebih dari ini-